Powered By Blogger

Monday, November 4, 2013

Mawar untuk Claudia (Cerpen 1)



“Sayang, cepat bangun! Solat subuh dulu!” Teriak perempuan yang berusia 50 tahun dari dapur. “Sebentar Ma, 5 menit lagi napa.” Timpalku sembari menarik selimut kembali. Ya, angin disekitar rumah kami memang cukup memikat untuk tidur kembali. Serasa kasur enggan melepaskan tubuhku. Rumah kami terletak di salah satu villa ternama di Bogor. Sejuk dan segar. Tiba-tiba terasa percikan air mengenai wajahku. “Ma, dingin nih!” Sontak ku kaget. Mamaku hanya tersenyum dan kabur seperti tidak terjadi apa-apa. Huh, sedikit menyebalkan. Bergegas ku mandi dan solat, serta sarapan sebelum pergi ke sekolah. Beruntung ku bersekolah di SMA favorit. “Di, cepetan! Udah di jemput tuh sama si Aa di teras.”  Ucap Mama. “Oke Ma siap”. Timpalku sembari meminta restu mama dengan mencium tangan sebelum pergi ke sekolah. “Yuk,  A buruan telat nih. Gerbang keburu ditutup” Ujarku. “Siap nona” timpal Fadli sembari menutup pintu mobil dan langsung menancapkan gas.

 Oia, perkenalkan namaku Claudia Nurmala. Namun biasa dipanggil Claudia. Teman-teman biasa manggil Di, biar cepet katanya. Haha. Pacar baru Aku ini namanya Fadli, kami satu sekolahan. Tak terasa Bel sekolah berbunyi. Kami harus berpisah, yaa Fadli lebih tua satu tahun. Dia kelas XII dan Aku kelas XI. Setelah pulang sekolah, kami biasa menghabiskan waktu bersama seperti remaja-remaja lainnya. Seperti makan bareng, pergi ke bioskop, pergi ke Taman Rekreasi, dan belajar bareng tentunya.
*
Semilir angin menghempaskan rambut ku yang kubiarkan terurai. Sedangkan Fadli, dia duduk terpaku. Seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu. Aku hanya terdiam, menunggu, sembari menikmati pemandangan kolam yang tepat tersaji dihadapan Aku. “Hmm..” Deru nafasku terdengar jelas. Akhirnya dia menjelaskan semuanya karena mulai merasakan bahwa Aku mulai tidak menyukai suasana ini, dengan tersusun dan tenang. “Di, Aa harus kuliah diluar kota. Karena program dokter yang terbaik di Indonesia hanya disana.” Ucapnya Lirih. Dia akan kuliah diluar Kota seperti yang diinginkan Ayahnya. Aku hanya tertunduk sedih mencoba menerima setelah Fadli menceritakan semuanya. Tak kuat untuk menatap matanya, karena dia juga sedih. Aku bisa melihat pancarannya dengan jelas.Tetap diiringi bulir Kristal yang jatuh dari pelupuk mataku, pedih. Apakah bisa kami menjalani ini yang berbeda jauh seperti biasanya. Karena kami biasa menghabiskan waktu bersama-sama hampir tiap hari.

Kejadian itu terjadi sekitar 6 bulan lalu. Untuk mengurangi rasa sedih, kami berdua fokus dengan belajar. Tak terasa Ujian Nasional sudah berakhir, dan artinya Fadli harus bersiap-siap menyiapkan keperluan kuliah. Yang artinya hanya beberapa bulan lagi Aku akan bertemu Fadli. Sebelum pergi, Fadli menitipkan sebuah bungkusan kecil dari Koran. Tidak biasanya. “A, ini apa? Boleh dibuka?” tanyaku heran. “Di, ini benih bunga mawar yang sengaja ku ambil khusus dari pekarangan rumahku. Pesanku, Tolong tanam ini dengan cinta, kau siram dan rawat dengan kasih Akung, jangan lupa beri pupuk kerinduan. Oia, apabila sudah mekar, hati-hati dengan durinya ya. Maafkan dan bersabarlah, karena memang semua mawar memiliki duri. Ibaratkan saja mawar ini seperti diriku, nanti kau akan mengerti untuk apa semua ini” Ucapnya panjang lebar tak memberiku kesempatan untuk mengomentari itu semua. Ku hanya terdiam, dia hanya membalasnya dengan senyuman. Namun air mata ini menjawabnya untuk menyanggupi semua pesan Fadli sekaligus mengucapkan selamat tinggal untuk sementara.

Waktu bergulir begitu cepat, kami masih membina hubungan baik sampai saat ini dengan memberi kabar, bertemu disela-sela liburan semester dan tentunya menjenguk mawar yang kini sudah muncul dari beberapa pot dipekarangan rumahku. Terkadang kami merawatnya bersama-sama. Namun ku masih bertanya-tanya, rahasia apa dibalik mawar itu masih belum bisa ku pecahkan.

Akhirnya Aku baru lulus menjadi Sarjana Manajemen Bisnis, dan Fadli kini sudah bekerja menjadi dokter dirumah sakit ternama di Bogor. Suatu senja, kami memutuskan untuk bertemu dirumahku bersama orang tuanya untuk makan malam menyambut kelulusan kami berdua. Orangtua kami berdua memang sudah kenal sejak lama. Tiba-tiba Fadli keluar rumah dan memotong beberapa tangkai mawar dengan menggunakan gunting khusus yang ia bawa sendiri.  “Di, didepan orangtua kita dan saksi mawar ini, ku ingin melamarmu menjadi istriku. Mau kan?” Ucapnya dengan lembut namun tidak terdengar gombal ia lontarkan kepadaku. “Ku mau Fadli.” Jawabku dibarengi tangisan bahagia dan ucapan syukur orangtua kami. Sembari mempersiapkan pernikahan, ia mengajak ku keluar untuk ke restoran favorit semasa SMA. Fadli menjelaskan kepadaku mengapa ia menyuruhku menanam mawar. “Di, tau ga kenapa kusuruh tanam mawar?” Tanyanya. “Ngga, apa alasannya a? Jawabku. “Karena menanam mawar itu cukup rumit bagaimana tanah yang pas. Artinya apabila pondasinya tidak baik, maka hasilnya pun tidak begitu indah. Dan mawar ini cukup memerlukan kesabaran. Semua point-point ini yang ingin kulihat dari dirimu Di. Karena menurutku, untuk menjadi istriku cantik saja tak cukup, kesabaran juga penting untuk mendampingiku dan telaten untuk merawat anak-anak kita nanti. Tertanya kamu bisa Di. Untuk durinya, karena disepanjang ada, pasti akan tertusuk sedikit walaupun sudah menghindarinya. Hal ini juga terjadi dipernikahan kita nanti untuk senantiasa ikhlas bersabar dan memaafkan agar kita lebih siap menghadapinya bersama.” Terangnya panjang lebar sembari menyunggingkan senyum manisnya yang sangat aku sukai darinya. Kini ku mengerti makna mawar untukku sekarang.

No comments:

Post a Comment

New!

Halo! Marmara Cakes

 Amanda Dessy Utami Website & Community marmaracakes.com @marmaracakes.com